Photo by Apostolos Vamvouras from Pexels |
Kubasuh wajah di penghujung malam, dalam sujudku berserah diri. Hanya Dialah yang mampu mendengar rintihan kalbu. Kewajiban baru menanti tetapi tugas lama tak kunjung usai. Kehendak absurdku sesekali terlintas dalam benak. Andai dapat menyelesaikan segalanya dalam satu waktu. Meskipun tanggung jawab sebagai abdi negara sangat penting dan tak dapat kutolak, tanggung jawab dan rasa kemanusiaan menahanku untuk tidak mengabaikan seorang siswa yang bernama Deden Tuyasa. Ia termasuk salah satu siswa yang sering melakukan sesi konseling denganku. Sepanjang sesi konseling ia selalu menunjukkan sikap acuh tak acuh. Deden menunjukkan diri sebagai pribadi yang tertutup, kurang toleran, dan sering kali membuat kesal guru-guru yang mengajarnya sehingga ia dijuluki Deden si biang kerok. Padahal, ia termasuk siswa yang cerdas, sosok yang kuyakini memiliki potensi dan peluang besar untuk mewujudkan mimpi-mimpinya jika ia mau membuka diri dan menghancurkan dinding yang membatasi dirinya dengan dunia luar.
Sejak sesi konseling terakhir kali dengan Deden, tidak ada kabar buruk lagi tentangnya. Namun, sejak dua hari yang lalu ia tak terlihat di sekolah hingga seorang temannya datang menemuiku dan bercerita. Ia sempat membaca tulisan dalam akun pribadi Deden yang bernada kesedihan, putus asa, dan permintaan maaf yang ditujukan kepada teman-temannya. Seketika rasa gundahku menyeruak dalam diri. Cemas dengan sikap impulsifnya. Kucoba menghubungi ibu Deden, seorang ibu yang berjuang seorang diri menghidupi kedua anaknya. Kudapati ibu Deden yang sedang menangis tersedu-sedu. Ia tak habis-habisnya menyalahkan diri. Di tengah kepanikan itu, aku tak mungkin menunjukkan perilaku yang sama dengan ibu Deden. Aku pun berusaha untuk tetap terlihat tenang. Kubantu ibu Deden berdiri dan mencoba menenangkannya.
“Kapan terakhir kali Ibu berkomunikasi dengan Deden?” tanyaku setelah melihat ibu Deden agak tenang.
“Kemarin, ia tidak banyak bicara di telepon, hanya bilang bahwa ia sedang bosan dan kesepian di rumah. Lalu saya menyuruhnya untuk sabar menunggu kepulangan saya. Setelah itu tak ada kontak lagi sampai hari ini. Ia tidak ada di kamarnya. Kakaknya juga sedang berusaha mencarinya tetapi belum ada hasil,” ucapnya lirih.
Tak ingin berlama-lama setelah mendapat informasi dari ibu Deden, aku bergegas kembali ke sekolah mencari Asep dan Arya, teman dekatnya Deden, mencari tahu informasi terkini dari kedua sahabatnya.
“Bu, ini status terbaru Deden,” ucap Asep sambil menyodorkan telepon genggam miliknya.
Sebuah foto diposting sekitar lima menit yang lalu dengan caption berjudul “jurang waktu”. Sepasang sepatu dengan sudut pandang puncak-puncak pepohonan yang rimbun dengan bebatuan kapur melingkupinya. Seperti seseorang yang sedang selfi berdiri di tepi jurang.
“Ya Allah ... semoga tidak seperti yang kupikirkan,” harapku diselimuti kecemasan. “Ke mana pikiran positifku kali ini, mengapa kau tidak muncul?” kepanikan melandaku. “Seperti bukan diriku, perasaan apa ini? aku tak ingin seperti ini, Aisyah sadarlah! Ayo gunakan akal sehatmu!” gumamku dalam hati.
Aku pun terdiam sejenak berusaha berpikir jernih. Kemudian aku teringat catatan konseling miliknya. Catatan itu menunjukkan bahwa Deden adalah seorang pribadi yang menyukai kesunyian. Kulihat sekali lagi foto yang ia unggah di media sosial. “Ya, aku tahu tempat ini!” pekikku dalam hati.
“Asep, Arya ayo ikut ibu ke bukit belakang sekolah. Semoga belum terlambat!”
Asep dan Arya sesaat tampak bingung. Namun, pada akhirnya mereka menuruti keinginanku. Kami pun menuju puncak bukit belakang sekolah. Benar saja, lokasi itu sangat mirip dengan foto yang diunggah Deden. Tempat yang sunyi, tak ada sepatu atau ciri-ciri lain seperti yang terlihat di foto itu, hanya terdengar suara deru angin menyibak dedaunan. Tak kulihat jejak Deden di sana, sementara mentari mulai meredupkan sinarnya, parade senja mengiringi dengan sinar keemasannya. Kami pun berpencar berpacu dengan waktu berbekal harapan yang semakin menipis. Tak ayal kami pun harus menelan kekecewaan. Asep dan Arya merebahkan badan di bawah sebuah pohon, melepas penat sejenak. Ah, kenapa tidak kucoba menghubungi ponselnya sekali lagi? Pikirku sambil mengeluarkan ponsel dan menghubungi nomor kontak Deden. Sontak kami terkejut ketika mendengar suara ponsel berdering tak jauh dari tempat kami beristirahat. Kami pun segera mencari asal datangnya suara itu.
“Sep itu suara ponselmu?” tanya Arya.
“Bukan eh, ini sih seperti nada dering ponselnya Deden!” sahutnya sambil mengernyitkan dahi.
Tiba-tiba sesuatu jatuh dari atas pohon tempat kami berdiri menimpa Asep dan Arya yang tak sempat menghindar. Aku pun berteriak terkejut melihat Asep dan Arya jatuh terjerembab. Rupanya sesuatu yang menimpa mereka berdua bukan benda melainkan seseorang.
“Deden!” teriakku terkejut. “Apa yang sedang kamu lakukan di atas pohon itu? Kami mencarimu ke mana-mana? Apa yang terjadi dengan dirimu? Kenapa kamu bertindak konyol seperti ini?” tanyaku bertubi-tubi bersahut-sahutan dengan ritme suara jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya.
“Aduh, berisik sekali sih! Ah, tulangku serasa remuk nih!” teriak Deden sambil meringis dan berusaha untuk bangkit.
“Deden! Cepat minggir, kau! Sakit tahu!” pekik Arya sementara Asep tak mampu lagi berkata-kata menahan sakit. Aku pun segera tersadar dan membantu mereka.
“Asep, kamu baik-baik saja, kan?” ucapku sambil mengipasinya dengan sehelai daun kering yang berserakan di sana karena hanya Asep yang terlihat kepayahan.
“Iya nggak apa-apa, Bu, cuma sedikit sesak saja. Sebentar juga hilang. Si Deden itu berat banget kayak sapi!” umpat Asep dengan nafas terengah-engah.
“Deden ayo jawab pertanyaan ibu tadi?”
“Memangnya kenapa? Aku hanya ingin sendiri,” ucap Deden datar sambil memalingkan wajahnya. Kemudian ia berdiri membersihkan baju dan tasnya yang tergeletak di tanah.
“Sebelumnya ini adalah tempat yang nyaman untuk menenangkan diri sampai tiba-tiba ada yang mengganggu dan membuatku jatuh,” ucap Deden tak ada raut penyesalan di wajahnya.
“Oh, jadi kamu pikir kami semua ini pengganggu? Kamu tahu tidak apa yang terjadi dengan keluargamu? Semua orang mengkhawatirkanmu!” emosiku mulai terpancing oleh sikapnya.
“Kami pikir kamu mau terjun ke jurang, Den. Kamu nggak lihat begitu khawatirnya Bu Dian sampai mengajak aku sama Arya mencarimu ke sini?” jelas Asep dengan nada kesal melihat Deden yang tenang-tenang saja.
“Siapa juga yang mau bunuh diri, aku hanya ingin sendiri, kok,” ucap Deden santai.
“Hmm ... ternyata orang yang kita khawatirkan malah enak-enakan tidur di atas pohon. Menyusahkan saja! Ayo, Bu, kita pulang saja!” ucap Arya ketus.
Melihat Asep dan Arya yang kesal kepadanya tiba-tiba sebuah senyuman tersungging di bibir Deden. Pemandangan yang langka bagiku, membuat wajah Deden terlihat begitu manis.
“Maafkan aku, ternyata banyak juga orang yang peduli padaku. Terima kasih semuanya. Bu Dian, sekarang aku izinkan Ibu pergi,” ucap Deden sambil menatap dalam kepadaku. Aku tidak begitu memahami apa yang diucapkannya. Heran dan bingung mendengar dirinya yang super cuek itu bisa mengatakan kata maaf.
“Apa maksudmu? Ya sudah ibu memaafkanmu kali ini, tapi besok kita perlu bicara, ya, Den!” pungkasku tak ingin berlama-lama karena hari semakin sore dan aku pun harus segera memberi kabar kepada ibu Deden. Hari yang cukup menguras tenaga dan perasaan, tapi semua itu terbayar sudah dengan mengetahui bahwa Deden baik-baik saja.
***
Semenjak kejadian itu Deden mulai menunjukkan perubahan perilaku yang berarti. Ia menjadi lebih tekun dan serius dalam belajar, tidak pernah berulah dan berperilaku tidak sopan kepada guru, pun dengan ibu dan kakaknya yang kini lebih banyak mencurahkan perhatian kepada Deden. Sungguh pemandangan yang indah di hari-hari terakhirku menjalankan tugas di SMA Bojong Nangka. Entah peristiwa mana yang menyadarkannya, hanya bisa bersyukur semoga seterusnya ia bisa mempertahankan sikap baiknya. Itulah kejadian yang mewarnai hari-hari terakhirku mengajar di SMA Bojong Nangka. Menjadi sesuatu yang berkesan untuk diingat.
Waktu berlalu, hari-hariku dipenuhi tugas dan orang-orang yang baru. SMA Bojong Nangka kini menjadi penghias mimpi yang kerap muncul dalam tidurku. Tiba saat merebahkan badan melepas penat di tempat tidur yang beralaskan seprai bercorak bunga sakura kesayanganku. Tidur di atasnya membuatku merasa benar-benar tidur di taman musim semi yang penuh dengan mekaran bunga sakura. Begitu nyaman, membuat mataku terpejam dan tenggelam dalam mimpi. Akankah kali ini aku memimpikannya? Batinku berbisik. Saat hampir terlelap, ponsel berdering membangunkanku. Kuraih ponsel itu, samar-samar kulihat sebuah pesan masuk. Itu dari Deden! Diriku terperanjat, rasa kantuk pun lenyap seketika. Kali pertama ia mengirim pesan singkat setelah sekian lama mengenalnya. Sedikit terkejut dengan isi pesannya, ia memberiku sebuah puisi. Tak pernah kukira ia mampu membuat puisi.
Kumbang Merindu Seroja
Kuntum seroja mekar di taman cinta
Cukup satu seroja untuk membuat hati merona
Seroja tiada serinya menanti mentari menyapanya
Berharap sang kumbang dilirik seroja
Kepakkan sayap-sayap lemah tanpa asa
Kumbang merindu lantunkan irama sendu
Menabur janji setia tanpa kata
Berharap seroja mencium harum cintanya
Kumbang yang telah tertambat hatinya
Memohon kepada Sang Maha Pencipta
Agar mampu terbang menjemput seroja
Menyalip mentari dengan hangat kasihnya
Sesaat kuterdiam, mencoba mengingat dan memahami setiap peristiwa yang kualami bersamanya. Mungkinkah kejadian Deden menghilang itu karena aku? Ia tak merelakanku pergi? Apakah perubahan sikapnya itu sebagai tanda ia mulai merelakanku pergi? “Hah ... Deden kamu itu sesuatu banget!” gumamku sambil menarik nafas panjang. Perlahan aku mulai memahami semua tindakannya. Sebegitu besar perhatiannya kepadaku. Tak berani menduga lebih dari itu meskipun aku menyadarinya ada perasaan lain yang tumbuh. Aku hanya bisa pasrah dan yakin pada rencana-Nya. Rencana yang pasti indah untuk setiap makhluknya. Semoga kumbang itu dapat mengepakkan sayapnya suatu hari nanti menjemput mimpi.
***
dari buku Sandal Jepit John Dalton: Kumpulan Cerpen 2019 #2 halaman 1-6
Tidak ada komentar:
Posting Komentar