Kisah Pengalaman Guru oleh Desi Arianto
Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Pengelolaan Kelas 1 halaman 24-30, Pertama dalam Lomba Kisah Pengelolaan Kelas 2015
Photo by Ricardo Garcia from Pexels |
Bukan musuhmu
Yang harus dibenci
Setengah hati, atau mungkin sepenuh hati.
Diri ini seorang guru
Sahabat, kawan sepermainanmu
Tempat berbagi cerita, menitipkan percaya.
Mendekatlah,
Duduk di sampingku,
Lihatlah,
Tatap kedua mataku.
Maka,
Aku akan tahu semua duniamu.
Hanya semudah itu.
Seandainya hidup boleh kita atur sendiri, maka barang tentu kita menjatuhkan pilihan pada substansi yang menyenangkan saja, sesuai dengan alur-alur tujuan kita. Maka tak perlu ada Tuhan, tak butuh keyakinan, dan hidup saja dalam sebuah dimensi sendiri yang tak mengenal sebuah arti penciptaan. Bahwasanya semua jalan kehidupan telah diatur oleh Sang Maha Pengatur. Baik bagi kita belum tentu baik bagi Sang Pencipta, begitu sebaliknya. Alkisah, semua itu telah terjadi denganku, saat ini.
Belasan tahun yang lalu, saat mengenyam bangku Sekolah Dasar, pelan-pelan kepala kalengku ini memintal jalinan kata-kata negatif yang saling mengikat kuat, berpilin dan bertumpuk-tumpuk membentuk jaring memori kelam tentang penggambaran seorang guru. Kasar, jahat, seenaknya sendiri, tak mau mengerti, sok pintar dan yang pasti kuingat, selalu menjaga jarak dengan muridnya.
Sepanjang hari murid hanya menikmati suguhan pantomime yang murid sendiri tak paham apa itu pantomime. Pertunjukan tunggal itu diperankan seorang manusia yang berdiri di depan kelas dengan layar hitam terkembang, membawa properti bernama kapur dan intaian penghapus melayang bagi siswa yang ramai. Ia bicara sesuka hatinya sendiri. Parahnya, si manusia itu tak bisa melucu. Aku merasa hanya melihat sebuah televisi hitam putih menyiarkan acara Dunia Dalam Berita. Menjemukan.
Menguap, bosan, ketakutan adalah lirik-lirik lagu yang senandungnya tak beraturan dengan tempo lambat empat per empat. Lalu sang penyanyi adalah guru itu sendiri. Bukan hanya itu, sang guru juga memainkan gitar, ukulele, akordion, trombon, tamborin, sampai rebana. Semua alat itu dimainkan sekenanya, lalu bernyanyi dengan nada sopran yang sangat dipaksakan. Lekat, ia genggam kayu Jalin bekas kemoceng, sepanjang satu hasta, tersajilah seorang composer dan dirigen untuk pertunjukannya sendiri. Murid, seolah-olah hanyalah sekumpulan Belibis yang terperangkap di rawa-rawa bernama kelas, yang hanya paham suara koor kwek…kwek…kwek…
Pikiran-pikiran semacam itu berhasil dengan status summa cum laude menghuni kedalaman otakku hingga remaja. Dengan sedikit arogansi yang juga ikut tertanam, aku menyimpulkan bahwa guru adalah pekerjaan yang sangat tidak nyaman. Pemahaman yang bukan dibuat-buat, akibat trauma masa kecil di bangku sekolah.
Dalam perjalanan waktuku menuntut ilmu, selalu terlintas dalam benak, bagaimana mungkin seorang guru mampu mengurusi muridnya jika ia sendiri tak mau menyentuh dunia muridnya? Guru hanya mengajar dan sesekali tersenyum jika hatinya sedang good mood. Selepas itu, ia kembali menjadi sebuah sipir tahanan yang menakutkan. Ada jarak yang jauh terpisah di antara guru dan murid. Namun, semua anggapan itu runtuh seperti sebuah gedung yang di ledakkan. Semua pemikiran itu kandas menjadi puing-puing cerita karena takdirku kini adalah, menjadi guru. Sebuah Anomali Eksentrik hidupku.
Sekarang ini, aku berdiri di depan kelas di hadapan para pencari ilmu yang selalu kurindukan. Ya, sekarang aku menjadi seorang guru. Sebuah kebaikan hidup yang dulu aku menganggapnya sebagai keburukan. Tujuh tahun merayap dengan cepat, kujalani takdir menjadi guru. Tenaga, pikiran, waktu dan materi tercurahkan semuanya demi melawan sebuah hal remeh-temeh bernama, beban.
Menjadi guru membuatku semakin dewasa dan belajar dari semua kisah masa kecilku saat menjadi murid. Tak akan kubiarkan terulang pada murid-muridku. Aku bermetamorfosis menjadi sahabat mereka. Guru hanyalah status kepegawaian yang tertera pada lapor bulanku saja. Di kelas, aku adalah kawan mereka. We are incredible partner. Jurang pemisah yang sangat dalam, aku dangkalkan. Jarak yang terentang antara guru dan murid aku hubungkan dengan jembatan yang selalu kusebut student interpersonal approach, pendekatan pribadi dari hati ke hati.
Guru yang berbeda adalah muaraku. Semua kukerahkan untuk itu. Berada di sekolah swasta pinggiran kota yang baru belajar merangkak untuk mandiri. Jarak tempuh dari rumah ke sekolah yang bila dikonversi sejauh jutaan senti ditambah gaji yang belum manusiawi, tak mampu sedikit pun meredamku untuk tetap berjuang menjadi guru yang berusaha menciptakan iklim menyenangkan dalam kelas.
Semua guru pasti ingin melakukan yang terbaik untuk muridnya dengan pengelolaan kelas seefisien mungkin. Sebab, tak bisa dipungkiri guru memiliki banyak sekali kegiatan di dalam dan di luar sekolahan. Apalagi jika harus bicara administrasi kelas, silabus, RPP dan kroni-kroninya itu, yang bisa mengubah rambut lurus guru menjadi keriting. Rambut keriting pun menjadi kribo dan rambut kribo tak ayal akan menjadi botak! Sungguh tak masuk akal. Masalah administrasi kelas yang seabrek itu ditambah dengan permasalahan-permasalahan pergaulan murid yang akut seperti komplikasi penyakit kritis. Padahal tugas guru bukan hanya mengajar atau mendidik saja. Guru adalah seorang inspirator, the real example, contoh nyata yang menjadi panutan murid. Adakalanya, guru juga harus berani berpikir out of the box. Sedikit melenceng dari jalur, seperti harus bisa membaca hati, mata, sifat ataupun karakter murid. Setidaknya menggunakan ilmu-ilmu yang tak pernah ada dalam mata kuliah keguruan. Karena guru sejatinya adalah seorang seniman! Artis yang menjadi tontonan.
Seniman! Suka sekali aku dengan kata itu. Maka ‘kan kujadikan itu sebagai sebuah prinsip untuk mendekatkan diri dengan murid. Aku bermain gitar dan bernyanyi. Terkadang sambil mendongeng. Suatu waktu membuat dan membaca puisi. Pada kesempatan lain lagi, aku menjadi Papa Dedeh, yang berbagi hati, memberi solusi. Terkadang aku membuat video klip mereka dan mengajari mereka cara membuatnya. Dari sanalah kedekatan hubungan mulai terbangun, sebagai pintu masuk ke dalam hati dan hidup mereka. Terlihat sederhana, meski susah untuk dilogika pengelolaan kelas yang aku lakukan. Tak ada peraturan tambahan selain peraturan umum yang ada dan sama, yang tertera di semua sekolah.
Sejujurnya aku tak butuh peraturan yang mengikat, selain tata tertib saja. Aku mencoba menerapkan rasa tanggung jawab, rasa saling memiliki, dan mencintai semua anggota kelas. Meski tak tertulis, perlahan namun pasti, pemahaman mulai mereka terima menjadi sebuah kebenaran, bahwasanya semua anggota kelas adalah keluarga. Maka, tak ada satu pun yang boleh menyakiti, mengolok, mengejek, meremehkan, membenci dan menganggap temannya adalah sampah yang harus disingkirkan. Peraturan tersirat tersebut nyatanya jauh tertanam dalam hati mereka karena sebuah ikatan.
Butuh perjuangan berat untuk melakukan cara-cara itu. Pernah suatu ketika di awal aku menjadi wali kelas dulu, terjadi sebuah kesalahpahaman di antara mereka.
“Pak, Diki memanggilku Aspal jalan raya!” kata Tyas dengan ketus, sambil murung wajahnya. Ia memang berkulit gelap. Aku tersenyum kecil menenangkan tanpa bermaksud merendahkan. Kemudian, seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah, aku gunakan jurus andalanku untuk mengendalikan mereka, duduk berdua saling berhadapan, saling menceritakan. Face to face.
Aku mendengar dengan hati dan aku bicara pun dengan hati. Kubiarkan Tyas berceloteh sesuka hatinya. Kudengarkan dengan penuh perhatian seolah-olah aku menjadi dirinya. Semua unek-unek tumpah ruah seumpama aku adalah bak mandi yang dituangi air satu drum. Tyas bercerita dengan penuh penghayatan, sampai-sampai ia meneteskan air matanya. Aku sebenarnya ikut bersedih, namun aku tahan, karena ini bukanlah sebuah telenovela yang penuh isak tangis. Aku berempati penuh. Siapa yang tidak sedih jika kekurangan diri diobral di depan orang banyak dengan maksud mengolok-olok? Lima belas menit terlewati dengan cepat. Hingga, aku mengucapkan sepatah kata.
“Kamu percaya Bapak, kan?” Tyas mengangguk. Aku menjelaskan dengan hati, bahwa, adakalanya dia harus belajar menahan emosi ketika disudutkan. Sabar akan membuatnya menjadi orang yang lebih bisa menghargai penciptaan. Tuhan tidak pernah salah menciptakan makhluk-Nya. Setiap dari manusia pasti akan memiliki kekurangan dan ke-lebihan. Kemudian aku tunjukkan padanya bahwa aku memiliki kekurangan ini, ini, ini dan itu. Tyas mulai sedikit tersenyum dan tertawa lebar saat aku bercerita bahwasanya sewaktu kecil seusia dia, aku pernah diejek begini dan begitu. Dan aku pun tetap menjadi orang setelah ejekan itu bertahun-tahun kuterima. Kudapatkan jurus pendekatan yang kedua, menertawakan diri sendiri di hadapan seorang murid akan mengajarkan mereka untuk memandang gurunya seorang yang kuat dan tabah dalam menjalani kehidupan. Kemudian di akhir percakapan itu, aku sematkan sebuah kalimat yang hingga kini ia pegang. “Semua akan baik-baik saja meski tidak mudah. Engkau akan hebat saat mampu menemukan kelebihan di atas kekuranganmu itu.” Tyas tersenyum senang dan menyalamiku dengan takzim.
Hal yang serupa juga kulakukan pada Diki. Dalam melakukan Face to face itu, tak pernah aku mencari siapa yang salah dan siapa yang benar. Pantang menyudutkan murid. Yang kupersalahkan adalah diriku sendiri kenapa belum bisa menekan permasalahan semacam itu. Diki terbuka hatinya. Dengan kesadaran diri juga tanpa kuperintah, Ia mau meminta maaf pada Tyas dan akan belajar menjaga emosi yang keluar melalui lisan-lisannya. Memang benar lidah tak bertulang. Tak menikam tapi menyakitkan.
Semula memang banyak sekali permasalahan yang muncul. Face to face, pendekatan dari hati ke hati yang kulakukan, nyatanya berhasil mengendalikan mereka pada sudut-sudut pergaulan dan cara bersosialisasi. Hebatnya, dengan pendekatan itu pula, aku mampu memotivasi mereka untuk berprestasi melalui metode dan strategi pembelajaran yang kusarankan, hingga puncaknya mereka mampu sekolah di tempat yang mereka impikan.
Rasa cinta yang teramat besar pada mereka, membuatku mau berkorban. Apa yang kulakukan mampu membawa perubahan dalam dunia pendidikan perihal hubungan guru dan murid, meski hanya dalam lingkup kecil. Hubunganku dengan mereka seperti Silabus dan RPP, saling berkaitan. Hubungan kami, guru dan murid tak ubahnya Prota dan Promes, yang bersinambung. Jika boleh kuibaratkan, jalinan persahabatan kami, seperti kerbau dan burung jalak, symbiotic mutualism, saling menguntungkan. Aku beruntung karena semakin belajar banyak tentang sifat dan kehidupan anak-anak, mereka juga beruntung karena melihatku sebagai penengah yang selalu ada di tengah-tengah. Hingga kini tulisan ini aku tulis, mereka murid-muridku itu, masih memiliki hubungan yang sangat dekat denganku meski kini telah beranjak di tingkat SMP.
Tak ayal, jurus pendekatan yang sama masih menjadi senjata andalanku untuk bertempur dan mengelola kelas pada angkatan-angkatan yang baru. Hasilnya pun, tak pernah kubayangkan memberikan efek yang luar biasa. Melalui segumpal cinta bernama hati, aku berhasil menjaga ucapan, tindakan, serta pergaulan mereka tanpa pernah ada aturan tertulis yang mengancam layaknya undang-undang pidana. Semua berjalan sesuai alurnya.
Suatu ketika, siang hari setelah perpisahan kelas enam, mereka, murid-muridku itu mendatangiku sambil duduk melingkar. Wajah mereka sembab penuh air mata karena sebuah perpisahan. Mereka bersama-sama menggoreskan sebuah tulisan di papan yang mereka tutup dengan selembar kain. Setelah kain tersibakkan, mampu kubaca deret tulisan itu
“Bapak telah mengubah kami. Kami rindu kebersamaan yang akan berakhir di kelas ini. Sampai kapan pun kami tidak akan melupakan kenangan yang terjadi. Terima kasih atas ilmu dan nilai kehidupan yang diajarkan. Terima kasih atas semuanya, We Love You!”
Tak terasa mataku berkaca-kaca, air meleleh perlahan jatuh semakin lama semakin berderai. Aku menangis untuk sebuah hal yang aku tak bisa mengerti. Aku menangis tanpa pernah tahu atas sebuah hal yang tak kupahami. Melihatku meneteskan air mata, serta-merta mereka semua beranjak dan memelukku erat sesenggukan. Aku diam mematung penuh keharuan.
“Terima kasih, Nak…” dalam hatiku lirih tertahan.
Guru tidak sekedar menuliskan deret-deret angka kognitif saja
Guru tidak sekedar berdiri dan bercerita, tapi lebih dari itu semua.
Ia ada meski dunia tak pernah memerhatikannya.
Ia ada dalam setiap ketiadaan yang menjelma.
Guru akan selalu hidup dalam hidup semua murid-muridnya.
***
Desi Arianto
Penulis adalah seorang guru kelas enam yang berbagi ilmu di SDIT Nurul Huda Kediri dengan nama asli Desi Arianto. Tahupoo adalah nama pena yang digunakan olehnya. Penulis pernah menjuarai event kepenulisan guru sebelumnya dengan judul cerita, “Face to Face”. Penulis memperjuangkan mimpinya untuk terus memberikan hadiah berupa buku yang ditulis sendiri untuk murid-muridnya yang telah lulus. Boundless dan Twelve Seasons adalah dua karyanya yang ditulis dan dicetak sendiri. Penulis dapat di kontak pada email ariantz12seasons@gmail.com
Penulis adalah seorang guru kelas enam yang berbagi ilmu di SDIT Nurul Huda Kediri dengan nama asli Desi Arianto. Tahupoo adalah nama pena yang digunakan olehnya. Penulis pernah menjuarai event kepenulisan guru sebelumnya dengan judul cerita, “Face to Face”. Penulis memperjuangkan mimpinya untuk terus memberikan hadiah berupa buku yang ditulis sendiri untuk murid-muridnya yang telah lulus. Boundless dan Twelve Seasons adalah dua karyanya yang ditulis dan dicetak sendiri. Penulis dapat di kontak pada email ariantz12seasons@gmail.com
Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Pengelolaan Kelas 1 halaman 24-30, Pertama dalam Lomba Kisah Pengelolaan Kelas 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar