Kisah Inspiratif Guru oleh Evayanti Christina, S.Si.
Photo by Pixabay from Pexels |
Semalam aku belajar mewarnai gambar, aku pikir mudah hanya tinggal coret-coret pensil warna. Ternyata tak semudah yang aku bayangkan, hasilnya jelek, tebal tipis tidak merata, perpaduan warna juga tidak bagus. Aku hampir marah karena jelek, hampir saja aku merobek kertas bergambar itu. Ketika aku berpikir untuk marah aku jadi teringat muridku yang waktu itu mudah sekali marah. Terkenang kembali akan kisahnya.
Adalah dia siswaku yang bernama Rifki. Dari sekian banyak perjumpaan di dalam kelas ataupun di luar kelas, Rifki adalah siswaku yang sangat mudah tersulut kemarahan karena hal sepele. Beberapa kali dia terlibat perkelahian dengan teman sekelas hanya gara-gara temannya salah ucap. Ketika aku panggil, dan aku tanya kenapa, dengan enteng dia menjawab, “Saya emosi, Bu!” Begitu pula kalau dia berkonflik dengan temanya, dia menjawab dengan nada serupa, “Saya emosi, Bu.”
Aku berbagi cerita padanya, “Rifki, menahan marah itu bukan hal mudah, karena Ibu pun tipe orang yang mudah marah. Dan kamu tahu to Ibu terkenal galak di sekolah. Ibu berjuang untuk mengolah emosi. Ibu belajar kalau Ibu ingin marah tapi harus menahannya agar tidak meledak, Ibu berhitung dari satu sampai lima belas sembari bernapas panjang. Jika belum cukup, Ibu bisa hitung satu sampai dua puluh. Ketika berhitung itu pasti pikiran Ibu fokus pada angka-angka yang dihitung, kan? Ibu berjuang keras.”
Ia membalas, “Susah, Bu.” Aku mengangguk, “Iya, pasti susah.”
Hingga di suatu waktu, kala itu bulan Agustus tahun 2015. Saat itu sekolah kami merayakan hari ulang tahun Republik Indonesia. Salah satu kegiatan sekolah kami adalah membuat nasi tumpeng kemerdekaan. Setelah nasi tumpeng dinilai maka nasi tumpeng itu boleh dimakan bersama-sama di kelas masing-masing.
Rifki dan teman-temannya di kelas XII-IPS makan nasi tumpeng itu. Rupanya Rifki makan cukup lambat sehingga salah satu temannya merasa tidak sabar, memburu Rifki untuk makan lebih cepat. “Ayo cepat Rifki! Ayo cepat! Meja ini mau saya bersihkan,” tegur temannya. Rifki masih terdiam, temannya mengulangi kalimat itu.
Rifki tak tahan mendengar ucapan itu, lalu ia memukul meja sehingga nasi tumpeng yang ada di piring berhamburan ke lantai. “Aku dari tadi diam nahan marah, tapi aku lama-lama nggak sabar sama kamu.” Akhirnya mereka terlibat pertengkaran dan nyaris baku hantam.
Rifki dan temannya dibawa ke ruanganku. Rifki di depanku berkata, “Ibu saya mencoba menahan marah seperti yang Ibu ajarkan. Saya mencoba berhitung satu sampai lima belas tetapi karena teman saya terus-terusan ngomong saya jadi tidak tahan.” Ketika Rifki berkata berhitung 1-15 aku merasa tertegun. Rupanya dia ingat apa yang aku ceritakan.
Menindaklanjuti kejadian itu, aku meminta mereka membuat poster tentang bagaimana mengolah kemarahan. Rifki dan temannya kemudian mempresentasikan posternya di depan Bapak dan Ibu guru. Rifki berkata, “Salah satu yang saya ingat dari guru saya, kalau mau marah saya berhitung satu sampai lima belas, supaya tidak jadi marah. Saya harus berlatih seperti guru saya.”
“Terima kasih, Anakku,” bisik suara kecil dalam hatiku. Sesaat itu rasa sejuk mengalir di setiap rongganya. Aku bahagia.
***
Teruslah mengayuh maka engkau sampai ke tujuan.
Evayanti Christina, S.Si., lahir di Lampung, 6 April 1976. Seorang guru agama Kristen Protestan di kelas VII-XII di sebuah sekolah swasta di Lampung.
Tulisan ini diambil dari buku KAPUR & PAPAN Kisah Inspiratif Guru 1 halaman 95-96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar