Minggu, 15 Juni 2014

Temu Darat Pertama: Dideklarasikannya Komunitas Guru Menulis

Pertemuan dengan para penulis saat peluncuran buku Cinta Sang Guru membuat saya ingin meneruskan kebersamaan yang kami rasakan saat itu dengan mengadakan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Adalah ibu Bening Parwitasukci yang semakin mengkristalkan gagasan ini menjadi kenyataan. Waktu itu karena pengiriman undangan launching tidak berhasil diterima Ibu Bening Parwitasukci, saya berinisiatif untuk mengantar contoh terbit buku Cinta Sang Guru kepada bu Bening. Pada perjumpaan tersebut bu Bening menyatakan sangat setuju atas rencana pertemuan darat tersebut dan mendorong agar segera direalisasikan.

Gagasan ini saya tawarkan di grup Kapur dan Papan dan mendapat sambutan yang hangat dari anggota grup. Akhirnya tersepakatilah sebuah acara, dengan tajuk: Diskusi Proses Kreatif Penulisan Kisah Pengalaman Guru.

Berikut pemberitahuan yang kami buat:

Tanggal 15 Juni 2014 Komunitas Guru Menulis ingin mengadakan KUMPUL DARAT, dengan acara utama: Diskusi Proses Kreatif Penulisan Kisah Pengalaman Guru, dan diskusi lain-lain.

Dalam acara utama, kita akan dengarkan proses kreatif dari mereka yang kemarin naskahnya terpilih untuk diterbitkan ke dalam buku "Cinta Sang Guru" . Kita ingin mendengarkan sharing mereka, tantangan dan gairah yang muncul saat menulis.

Kemudian kita juga akan membahas rencana-rencana konkret ke depan berkaitan dengan kelanjutan proses tulis-menulis oleh guru.

Bagi teman-teman guru yang tinggal di wilayah Jogja dan sekitarnya, silakan ikut dalam acara tersebut. Acara akan diadakan di PKBM Angon mulai Pukul 10.00 s.d. selesai (diperkirakan sekitar pukul 15.00)

Alamat silakan lihat di gambar. Bapak Ibu yang hadir hanya diminta mengganti uang makan Rp 25.000.

Bagi yang bisa hadir dan mau hadir, dimohon konfirmasi dengan mencantumkan nama di Komentar. Terimakasih


Acara:
Kronologi Acara 15-6
(1) Perkenalan
(2) Pembacaan Kisah “Rico” oleh Pak Binawan
(3) Sharing Proses Kreatif:
a. Pak Binawan dengan Kisah Rico
b. Bu Marni dengan kisah Ladang Cinta
c. Bu Ria dengan kisah Sepuluh Lima
d. Bu Petra dengan kisah BENCI, Benar-benar Cinta
(4) Pembentukan Komunitas Guru Menulis
(5) Kesepakatan ke depan

Hadir dalam pertemuan itu: Bu Ria Santati, bu Laurentia Sumarni Haryanto, bu Petra Suwasti, bu Yulia Loekito, Bapak Heribertus Anne Binawan, dan saya sendiri, Wakidi Steve.

Bu Marni, Pak Anne, Bu Petra, Bu Ria Santati, Bu Yulia, Pak Wakidi

Rico Si Hitam di depan Sepuluh Lima
Berikut profil peserta diskusi:
‪#‎Profil‬ peserta diskusi 15-6
Staf pengajar di Mercubuana dan STTIL. Nama Anne di tengah diambil dari nama puterinya. Punya ritual menulis setiap hari, sebelum tidur atau setelah bangun tidur. Layaknya orang kelaparan dan baru puas nyaman setelah makan, menulis baginya sudah merupakan “dinner” atau “breakfast” dan menimbulkan efek puas nyaman. Penggemar karya AS Laksana ini memiliki kemampuan untuk menghadirkan detil peristiwa dengan kata-kata tak terduga, efektif namun tepat makna. Lihat saja betapa “riil”-nya “gambar” yang ditampilkannya dalam kisah “Rico Si Hitam”. Kisah ini berlangsung ketika Pak “Bi” diminta membantu mengajar di SMA Boda selama kurang lebih satu semester.

(2) Ibu Ria Santati
Akan sedikit kesulian untuk mencari nama asli pemilik akun FB Ria Santati ini, karena nama lengkapnya adalah Anna Maria Dyah Purnami Santati. Penulis kisah apa, hayo? Tepat, “Sepuluh Lima”. Ibu Ria ini jauh-jauh dari Solo dengan semangat 28 (semangat terbaik untuk diteladani, menurut YB Mangunwijaya) datang ke Jogja untuk “ketemu” dan “mendengar” orang lain yang menjadi penambah kekayaan jiwanya. Miss yang satu ini memang punya hobi “mengamati manusia”. Lihatlah betapa jelinya Bu Ria menyorot sisi unik dari siswa-siswi Sepuluh Lima. Pengajar di SMA Regina Pacis Solo ini sebelumnya adalah pegiat pendidikan di alam terbuka di kota Malang yang digelutinya selama kurang lebih 7 tahun. Berkomitmen untuk hidup melajang dan ingin mati di dunia pendidikan. Bu Ria adalah kombinasi dari latar belakang kontras, antara gemerlap metropolitan dan … keotentikan serta kesederhanaan jiwa yang bebas sebebas gerak alam. Kalau kau lihat mimik wajah dan caranya Ibu yang satu ini ngomong, kau akan tahu bahwa Ibu ini tidak bisa dikungkung oleh standar norma yang memang kadang mengerdilkan atau bahkan mematikan jiwa. Ia tidak kalah nakal dari pada murid-murid yang paling nakal di tempatnya ia mengajar. Itulah yang membekalinya dengan hati dan mental yang bisa menerima murid-murid itu apa adanya. Tidak lebih, tidak kurang.

(3) Bu Marni 
Salah satu kerugian bagi para kontributor “Cinta Sang Guru” untuk tidak datang dalam diskusi 15-6 adalah: tidak bisa menyaksikan, mendengar, (barangkali juga membaui atau bahkan meraba) serta menikmati kemuskilan dosen yang satu ini. Tidak heran jika mantan-mantan muridnya tak pernah sekali pun melontarkan pesan negatif tentang dosen yang satu ini (demikian aku Bu Lia, salah satu peserta diskusi ini juga). Penemu resep “es goreng duren” (plesetan dari It’s going to rain, ungkapan yang melekat di telinga para mahasiswanya ketika hujan hendak turun) mengaku bahwa ia punya bakat untuk menangis. Meskipun gerak-gerik dan mimik wajah serta lontaran kata-katanya, juga aksi tak terduganya, amat cukup untuk membekalinya menekuni "side job" sebagai pesaing Cak Lontong, Ibu yang satu ini amat “gembeng”, gampang sekali menangis. Ia bahkan menjadi barometer tingkat keharuan atas berbagai peristiwa di antara rekan-rekannya, “Bu Marni sudah menangis belum ya?”
Bu Marni, demikian panggilan akrabnya, menjadikan dirinya tempat bercurhat bagi para mahasiswanya. Ia siap menggantikan peran ortu, terutama bagi mahasiswa yang berasal dari jauh atau yang sedang bermasalah. Menjadi “tempat sampah” menuntut energi prima untuk bisa memberikan hati dengan tulus penuh empati, dan kekuatan ini digalinya melalui ritual “Emmaus Journey”, yakni doa pagi dan refleksi harian yang selalu dilakukannya dengan bersumber dari Kitab Suci. Tanpa berpretensi memberi solusi, Ibu satu anak ini lebih sering berperan menjadi pendengar yang baik dan kadang ikut menangis bersama mahasiswa yang datang untuk menangis. Di sinilah “bakat” “gembeng” ini ternyata dikaruniakan bukan tanpa tujuan, dan bu Marni dibekali kemampuan khusus untuk memanfaatkan talenta ini dengan baik: dengerin curhat, peluk mereka dan ikut menangis – ternyata menjadi terapi yang manjur untuk meringankan beban hidup.
Ibu dosen “yang hampir selalu bergerak” ini menemukan cinta dalam pekerjaan mengajar. Bukan karena “duit”nya, tetapi terlebih karena kehadirannya telah membawa perubahan pada diri anak didiknya. Menyadari bahwa dirinya berguna di dalam hidup ini, bahwa ada yang mengingatnya, ada yang menganggapnya sebagai “my hero”, itu semua membuatnya bahagia sebagai seorang guru. Dan bu Marni menjalani peran ini lebih berangkat dari hati, tentu juga tidak melupakan profesionalisme. “Hot seat”, salah satu bentuk aktivitas dalam kelas “speaking”, mengajak para mahasiswa untuk curhat tentang apa pun. Tidak jarang “hot seat” ini menjadi tempat tertumpahnya air mata, terbukanya selubung-selubung tempat bersembunyi kepedihan yang selama ini tersimpan rapat di dalam dada, tumbuhnya keberanian untuk membuka katup-katup kepribadian yang memungkinkan pengalaman berperasaan dengan intensitas yang semakin memanusiakan dan mendewasakan.
Kegiatan menulis baginya lebih merupakan masturbasi, menulis untuk dinikmati sendiri. “Keharusan” untuk membuat refleksi memaksanya untuk setiap hari menulis. Dan profesinya sebagai dosen bahasa Inggris membuat tulisannya benar-benar patuh kaidah berbahasa tanda adanya satu pun cacat tanda baca.

(4) Ibu Petra Suwasti
Panggilan menjadi guru ternyata tidak harus muncul dari dalam diri. Bu Petra Suwasti adalah buktinya. Dari benci menjadi guru, ibu yang kecil putih imut ini akhirnya BENCI (benar-benar cinta) jadi guru, bahkan cukup berani untuk menjadi guru bagi anak-anak Papua yang postur badannya hitam besar, tampak sangar dan terkesan mengerikan. Selulus SMA pengajar di STKIP Surya Tangerang ini tidak tega menolak keinginan ayahnya agar mengambil ilmu keguruan dan harus menguburkan keinginan hatinya untuk mengambil fak murni. Karena terpaksa dan tidak enjoy kuliah di FKIP maka wajar saja kalau IP smt pertamanya termasuk NASAKOM (nasib satu koma). Namun setelah ikut berbagai organisasi kemahasiswaan pendidik kelahiran Moyudan Sleman ini menjadi sadar untuk membahagiakan ortu dengan bersungguh-sungguh belajar dan berhasil menggenjot IP-nya menjadi tiga koma.
Sosok kecil namun berhati raksasa ini akhirnya melamar dan diterima untuk menjadi dosen di STKIP Surya, tempat pendidikan bagi anak-anak bangsa kiriman dari daerah-daerah seperti Papua, Kalimantan, Sumatera, dll. Sempat mengalami syok mental dan bahkan ingin “resign” karena berhadapan dengan mahasiswa yang melakukan hitungan-hitungan sederhana saja belum bisa, namun setelah tergabung dalam komunitas MAGIS, jiwa besar namun terbalut dalam tubuh kecil ini akhirnya mulai mengenali jati dirinya sebagai pendidik sejati: ia harus mengerti kondisi siswa-siswanya, memahami, dan bahkan menyesuaikan logat bicara dengan mereka. Anda akan terkagum-kagum mendengar bagaimana ia fasih bergaya bahasa layaknya orang Papua. Ia menyadari bahwa menjadi guru adalah sebuah panggilan mulia. Ia bersyukur ikut terlibat dalam pembangunan manusia Indonesia

(5) Ibu Yulia Loekito
Dia hanya lulusan SMA dan tidak pernah kerasan karena berbagai alasan untuk duduk di bangku kuliah. Namun demikian tidak berarti bahwa Ibu dua anak ini tidak bisa menjadi pendidik sejati. Sempat menjadi guru anak-anak autis dan juga pernah merintis sekolah TK kini Ibu yang gemar sekali pada anak-anak ini mengelola PKBM Angon, sekolah alam yang bertujuan untuk mengembalikan pendidikan anak-anak kepada otentisitasnya.
Kecintaannya kepada anak-anak telah mengantarkannya kepada pergumulan terus-menerus untuk bisa memelangsungkan pendidikan yang baik bagi anak-anak, bagaimana mengenal anak, bagaimana memberikan treatment yang tepat terhadap situasi dan kondisi khusus anak.
Demi kecintaan pada anak ini pula, penulis kisah “Edo” bercita-cita ingin mendirikan sekolah gratis – dan berharap dengan pergantian kepemimpinan negara ini ke depan, cita-cita itu menemukan jalannya menjadi kenyataan.

selanjutnya adalah sharing proses kreatif para peserta kopi darat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar